A.
Pendahuluan
Tafsir
adalah penjelasan Alquran. Bagi orang asing, Alquran perlu diperjelas supaya
dapat dicerna, apakah itu dari tejemahan, atau penjelasan. Terjemahan atau
penjelasan sendiri tergolong dalam tafsir. Di Indonesia khususnya, tidak semua
masyarakat Islam dapat memahami ayat Alquran secara langsung, perlu adanya
terjemahan resmi dan standar, dalam hal ini, telah dilakukan dan distandarkan
oleh Departemen Agama. Jauh dari itu, banyak para pemikir ke-Islaman di
Indonesia, juga menafsirkan ayat-ayat Alquran, seperti HAMKA, Hasbi
ash-Shiddiqi, dll.
Quraish
Shihab, adalah pemikir kontemporer, yang masih hidup dan eksis, yang
mengkidmatkan dirinya untuk Islam. Di antara usaha itu adalah dia ikut dalam
tim penerjemah Alquran Departemen Agama, selain memiliki Alquran terjemahan
pribadi. Dia juga menafsirkan Alquran secara lengkap, tiga puluh juz, dengan
menggunakan bahasa Indonesia.
Nama
tafsir Quraish Shihab itu adalah Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an. Tafsir ini terdiri dari lima belas volume, dan
menafsirkan Alquran secara lengkap, tiga puluh juz Alquran.
Tafsir
Quraish Shihab ini sangat berpengaruh di Indonesia. Bukan hanya menggunakan
corak baru dalam penafsiran, yang berbeda dengan pendahulunya, beliau juga
menyesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan. Sesuai dengan namanya, al-Mishbah
yang berarti penerang, lampu, lentera, atau sumber cahaya, penulis tafsir,
Quraish Shihab, berharap dengan tafsirnya ini, masyarakat Indonesia akan
tercerahkan, dan memiliki pandangan baru yang positif terhadap Alquran dan
Islam.
Tafsir
Al-Mishbah telah dicetak berulang kali, di antaranya dicetak oleh
Penerbit Lentera Hati di Ciputat pada tahun 2009, dengan edisi lux dan
dengan tampilan yang membuat pembaca tertarik untuk membacanya.
Dalam
artikel yang sederhana ini, penulis berusaha membahas latar belakang penulis
tafsir, metodologi yang digunakan, corak penafsiran yang digunakan, contoh
penafsiran, komentar ulama, dan analisis kelebihan dan kelemahan.
B.
Latar Belakang Intelektual Penulis
Penulis Tafsir al-Mishbah
bernama Muhammad Quraish Shihab, lahir di Rampang, Sulawesi Selatan, pada 16
Februari 1944. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar.
Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam
bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama,
pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat
Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya
membina dua perguruan tinggi di Ujung Pandang, yaitu Universitas Muslim
Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia
bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujung Pandang. Ia juga tercatat sebagai rektor
pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 1972–1977.
Quraish Shihab sama seperti anak-anak yang lain, ia juga
mengenyam pendidikan. Pendidikan dasarnya, ia selesaikan di di Ujung Pandang,
selanjutnya, Quraish Shihab belajar di pendidikan menengahnya di Malang. Tidak
hanya itu, dia juga ‘nyantri’ di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah.
Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah
al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc. (S-1) pada Fakultas Ushuluddin
Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan
pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk
spesialisasi bidang Tafsir Alquran dengan tesis berjudul al-I'jaz al-Tasyri'iy li al-Qur’an al-Karim.[1]
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab
dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada
IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan
lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah
VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan
Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung
Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain,
penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia
Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).[2]
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan
melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada
1982, dengan disertasi berjudul Nazhm al-Durar li al-Biqa'iy, Tahqiq wa
Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Alquran dengan
yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma'a
martabat al-syaraf al-'ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab
ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk
menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak
1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua
Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi
profesional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus
Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).[3]
Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat
dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah
pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat
kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita
Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir Al-Amanah" dalam majalah
dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat
sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya
terbit di Jakarta.[4]
Quraish Shihab memang bukan
satu-satunya pakar Alquran dan tafsir di
Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan Alquran
dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan
lebih unggul daripada pakar Alquran dan tafsir lainnya. Dalam hal penafsiran,
ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i
(tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat Alquran yang
tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian
menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya
menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan.
Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat Alquran
tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat
Alquran sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Ketertarikannya
terhadap tafsir Alquran sangat beralasan. Semenjak kecil ia didik dengan Alquran,
karena Ayahnya adalah pakar Alquran dan tafsir. Quraish kecil telah menjalani
pergumulan dan kecintaan terhadap Alquran sejak umur 6-7 tahun. Ia harus
mengikuti pengajian Alquran yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh
membaca Alquran, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam
Alquran. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada Alquran mulai tumbuh.[5]
Sebagai ulama yang produktif,
Quraish Shihab memiliki banyak karya, sebagai berikut:
- Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984);
- Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
- Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
- Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999);
- Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999);
- Shalat Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa);
- Puasa Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa);
- Fatwa-fatwa (4 Jilid, Bandung: Mizan, 1999);
- Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987);
- Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987);
- Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990);
- Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departeman Agama);
- Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994);
- Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1994);
- Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
- Wawasan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1996);
- Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997);
- Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999);
- Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000);
- Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (15 Jilid, Jakarta: Lentera Hati, 2003);
- Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
- Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan Di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
- Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
- Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
- Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
- Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
- Wawasana al-Qur'an; Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
- Asma' al-Husna; Dalam Perspektif al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
- Al-Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz 'Amma (Jakarta: Lentera Hati);
- 40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati);
- Berbisnis dengan Allah; Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat (Jakarta: Lentera Hati);
- Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah Swt. (Jakarta: Lentera Hati);
- M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati);
- M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati);
- Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Jin dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
- Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Malaikat dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
- Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Setan dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
- Al-Qur'an dan Maknanya (Jakarta: Lentera Hati);
- Membumikan al-Qur'an Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati).
Dengan
tidak bermaksud menempatkan Quraish Shihab sebagai ulama yang suci, melihat
dari kapabelitasnya sebagai seorang ulama kontemporer, tidak diragukan lagi
keahliannya dalam menafsirkan Alquran.
C.
Metode Penafsiran
Setidaknya, menurut pakar tafsir al-Azhar University, Dr. Abdul Hay
al-Farmawi, dalam penafsiran Alquran dikenal empat macam metode tafsir, yakni metode
tahlili, metode ijmali, metode muqaran, dan metode maudhu’i.[6] Tafsir Al-Mishbah secara khusus, agaknya dapat
dikategorikan dalam metode tafsir tahlili.
Metode tafsir tahlili merupakan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan
mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan
mengikuti tertib susunan surat-surat dan ayat-ayat sebagaimana urutan mushaf Alquran,
dan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya: dari segi kebahasaan, sebab
turun, hadis atau komentar sahabat yang berkaitan, korerasi ayat dan surat, dll.[7]
Secara khusus, biasanya ketika
Quraish Shihab menafsirkan Alquran, menjelaskan terlebih dahulu tentang surat
yang hendak ditafsirkan: dari mulai makna surat, tempat turun surat, jumlah
ayat dalam surat, sebab turun surat, keutamaan surat, sampai kandungan surat
secara umum. Kemudian Quraish Shihab menuliskan ayat secara berurut dan
tematis, artinya, menggabungkan beberapa ayat yang dianggap berbicara suatu
tema tertentu. Selanjutnya, Quraish Shihab menerjemahkan ayat satu persatu, dan
menafsirkannya dengan menggunakan analisis korelasi antar ayat atau surat, analisis
kebahasaan, riyawat-riwayat yang bersangkutan, dan pendapat-pendapat ulama
telah terdahulu.
Dalam hal pengutipan pendapat ulama
lain, Quraish Shihab menyebutkan nama ulama yang bersangkutan. Di anara ulama
yang menjadi sumber pengutipan Quraish Shihab adalah Muhammad Thahir Ibnu
`Asyur dalam tafsirnya at-Tahrir wa at-Tanwir;[8] Muhammad Husain
ath-Thabathaba’i dalam tafsirnya al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an;[9] al-Biqa’i; asy-Sya`rawi;
al-Alusi; al-Ghazali; dll. Walau dalam menafsirkan Alquran, Quraish Shihab
sedikit banyaknya mengutip pendapat orang lain, namun sering kali dia
mencantumkan pendapatnya, dan dikontektualisasi pada keadaan Indonesia.
D.
Corak Penafsiran
Dalam menentukan corak tafsir dari
suatu kitab tafsir, yang diperhatikan adalah hal yang dominan dalam tafsir
tersebut. Menurut Dr. Abdul Hay al-Farmawi menjelaskan bahwa dalam tafsir tahlili
ada beberapa corak penafsiran, yakni tafsir bi al-Ma`tsur, tafsir bi ar-Ray`,
tafsir ash-Shufi, tafsir al-Fiqhi, tafsir al-Falsafi,
tafsir al-`Ilmi, dan tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.[10]
Dari pengamatan penulis pada Tafsir
al-Mishbah, bahwa tafsir ini bercorak tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
Corak tafsir ini terkonsentrasi pada pengungkapan balaghah dan kemukjizatan
Alquran, menjelaskan makna dan kandungan sesuai hukum alam, memperbaiki tatanan
kemasyarakatan umat, dll.[11]
Dalam Tafsir al-Misbah, hal
ini sangat jelas terlihat. Sebagai contoh, ketika Quraish Shihab menafsirkan
kata هَوْنًا dalam surat al-Furqan ayat 63. Quraish Shihab menjelaskan:
“Kata (هَوْنًا)
haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di
sini adalah mashdar/indefinite noun yang mengandung makna
“kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemahlembutan.
Sifat
hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan (يَمْشُونَ عَلَى
الْأَرْضِ هَوْناً) yamsyuna
`ala al-ardhi haunan/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami
oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam
konteks cara jalan, Nabi Saw. mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan
angkuh, membusungkan dada. Namun, ketika beliau melihat seseorang berjalan
menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda:
“Sungguh cara jalan ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (perang)
ini.” (HR. Muslim).
Kini,
pada masa kesibukan dan kesemrawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam
pengertian kata (هَوْنًا) haunan, disiplin lalu
lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar
dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin
menang sendiri sehingga berjalan dengan cepat dengan melecehkan kiri dan kanannya.
Penggalan
ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan
tergesa-gesa. Nabi Muhammad Saw. dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit,
penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.”[12]
Dari sini jelas, usaha Quraish Shihab
untuk memperbaiki tatanan kehidupan sosial sungguh kuat, sehingga masalah disiplin
lalu lintas pun disinggung dalam tafsirannya, walau pun mungkin sebagai contoh.
Jadi wajar dan sangat pantas sekali, kalau tafsirnya ini digolongkan dalam
corak al-Adabi al-Ijtima`i.
E.
Contoh Tafsiran
Untuk menjelaskan contoh tafsiran
Quraish Shihab, penulis mengambil salah satu ayat, yakni surat al-An`am ayat 2:
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن
طِينٍ ثُمَّ قَضَى أَجَلاً وَأَجَلٌ مُّسمًّى عِندَهُ ثُمَّ أَنتُمْ تَمْتَرُونَ.
“Dialah
yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada lagi
suatu ajal yang ditentukan di sisi-Nya, kemudian kamu masih terus-menerus
ragu-ragu.”[13]
Dalam hal ini, penulis
terkonsentrasi pada “sesudah itu ditentukan-Nya ajal dan ada lagi suatu ajal
yang ditentukan di sisi-Nya”. Menurut Quraish Shihab, pendapat yang terkuat
tentang arti ajal adalah ajal kematian dan ajal kebangkitan karena biasanya
Alquran menggunakan kata ajal bagi manusia dalam arti kematian. Ajal
yang pertama adalah kematian, yang paling tidak dapat diketahui oleh orang lain
yang masih hidup setelah kematian seseorang. Sedangkan ajal yang kedua adalah ajal
kebangkitan, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT.[14]
Untuk memperkuat ini, kembali
ditegaskan oleh Quraish bahwa pembentukan diri manusia, dengan segala potensi
yang dianugrahkan Allah, menjadikan dia dapat hidup dengan normal, bisa jadi
sampai seratus atau seratus dua puluh tahun; inilah yang tertulis dalam lauh
al-mahwu wa al-itsbat. Tetapi semua bagian dari alam raya memiliki
hubungan dan pengaruh dalam wujud atau kelangsungan hidup makhluk. Bisa jadi,
faktor-faktor dan penghalang yang tidak diketahui jumlahnya itu saling
memengaruhi dalam bentuk yang tidak kita ketahui sehingga tiba ajal sebelum
berakhir waktu kehidupan normal yang mungkin bisa sampai pada batas100 atau 120
tahun itu.[15]
Quraish kembali menjelaskan, hal
inilah yang dimaksud sementara ulama Ahlus Sunnah dinamai dengan qadha’
muallaq dan qadha’ mubram. Ada ketetapan Allah yang bergantung dengan
berbagai syarat yang bisa jadi tidak terjadi karena berbagai faktor, antara
lain karena doa, dan ada juga ketetapan-Nya yang pasti dan tidak dapat berubah
sama sekali.[16]
F.
Komentar Ulama
Jika dilihat
berbagai situs, akan didapati banyak sekali pujian buat Tafsir al-Mishbah
ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, satu kesepakatan,
bahwa satu-satunya buku tafsir Indonesia yang paling banyak diminati adalah Tafsir
al-Mishbah: dari mulai kalangan menengah sampai kalangan terdidik.
Dari sini, wajar ketika pemerhati karya
tafsir Nusantara, Howard M. Federspiel, merekomendasikan bahwa karya-karya
tafsir M. Quraish Shihab pantas dan wajib menjadi bacaan setiap Muslim di
Indonesia sekarang.
KH. Abdullah Gymnastiar – Aa Gym menjelaskan, “Setiap kata yang lahir dari rasa cinta,
pengetahuan yang luas dan dalam, serta lahir dari sesuatu yang
telah menjadi bagian dirinya niscaya akan memiliki kekuatan daya sentuh, daya
hunjam dan daya dorong bagi orang-orang yang menyimaknya. Demikianlah yang saya
rasakan ketika membaca tulisan dari guru yang kami cintai, Prof. Dr. M. Quraish
Shihab.” Hj. Khofifah Indar Parawansa, “Sistematika tafsir ini sangat
mudah dipahami dan tidak hanya oleh mereka yang mengambil studi Islam khususnya
tetapi juga sangat penting dibaca oleh seluruh kalangan, baik akademis, santri,
kyai, bahkan sampai kaum muallaf.”
Ir. Shahnaz Haque, “Membaca buku-buku M.
Quraish Shihab, kita sangat beruntung karena pakar ini berani dan mampu membuka
kerang dan menunjukkan mutiara-mutiara yang ada di dalamnya, hal yang memang
dicari oleh umat yang sedang dahaga akan bantuan serta keindahan.” Chrismansyah
Rahadi – Chrisye, “Kebebasan untuk menafsirkan sesuai dengan kemampuan
pemikiran kita, tentunya dengan dasar-dasar Al-Quran dan Hadits, dan berpijak
pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Allah SWT. Penulisannya sangat
komunikatif dan dapat dibayangkan visualisasinya.” Ala kulli hal, tafsir ini
sangat bermanfaat dan penting untuk dibaca dan dikaji.
G.
Analisis Kelebihan dan Kelemahan
Sebagaimana
telah dijelaskan di atas, bahwa Tafsir al-Mishbah adalah tafsir yang
sangat penting di Indonesia, yang tentunya memiliki banyak kelebihan. Di
antaranya:
- Tafsir ini sangat kontekstual dengan kondisi ke-Indonesiaan, dalamnya banyak merespon beberapa hal yang aktual di dunia Islam Indonesia atau internasional.
- Quraish Shihab meramu tafsir ini dengan sangat baik dari berbagai tafsir pendahulunya, dan meraciknya dalam bahasa yang mudah dipahami dan dicerna, serta dengan sistematika pembahasan yang enak diikuti oleh para penikmatnya.
- Quraish Shihab orang yang jujur dalam menukil pendapat orang lain, ia sering menyebutkan pendapat pada orang yang berpendapat.
- Quraish Shihab juga menyebutkan riwayat dan orang yang meriwayatkannya. Dan masih banyak keistimewaan yang lain.
- Dalam menafsirkan ayat, Quraish tidak menghilangkan korelasi antar ayat dan antar surat.
Dengan
segala kelebihan yang dimiliki oleh Tafsir al-Mishbah, tafsir ini juga
memiliki berbagai kelemahan, diantaranya;
- Dalam berbagai riwayat dan beberapa kisah yang dituliskan oleh Quraish dalam tafsirnya, terkadang tidak menyebutkan perawinya, sehingga sulit bagi pembaca, terutama penuntut ilmu, untuk merujuk dan berhujjah dengan kisah atau riwayat tersebut. Sebagai contoh sebuah riwayat dan kisah Nabi Shaleh dalam tafsir surat al-A`raf ayat 78.[17]
- Menurut sebagian sementara Islam di Indonesia, beberapa penafsiran Quraish dianggap keluar batas Islam, sehingga tidak jarang Quraish Shihab digolongkan dalam pemikir liberal Indonesia. Sebagai contoh penafsirannya mengenai jilbab, takdir, dan isu-isu keagamaan lainnya. Namun, menurut penulis sendiri, tafsiran ini merupakan kekayaan Islam, bukan sebagai pencorengan terhadap Islam itu sendiri.
H.
Penutup
Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan beberapa hal: pertama, nama lengkap Tafsir al-Mishbah
adalah Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, terdiri
dari 30 juz Alquran, dan lima belas volume.
Kedua, nama pengarang tafsir
ini adalah Muhammad Quraish Shihab bin Abdurrahman Shihab, seorang ulama kontemporer
Indonesia yang menuntut ilmu di Universitas tertua di dunia, al-Azhar University,
lahir di Sulawesi Selatan, dan sekarang masih akhtif menulis dan memberikan
kontribusi positif bagi umat Islam, khususnya Indonesia.
Ketiga, metode yang digunakan dalam Tafsir
al-Mishbah adalah metode tahlili, sedangkan corak yang digunakan
corak tafsir al-Adabi al-Ijtima`i.
Keempat, kelebihan dalam Tafsir
al-Mishbah sangat banyak sekali, kalau pun ada kekurangannya tidak dapat
menghilangkan kelebihannya yang sangat dominan. Oleh sebab itu, tidak jarang
ulama kontemporer memuji tafsir tersebut, atau bahkan menjadikannya rujukan
studi Islam secara ilmiah, dan dijadikan hujjah.
Allahu
a`lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibn
`Asyur, Muhammad ath-Thahir. Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir. Tunis: Dar
as-
Suhnun, 1997.
Al-Farmawi,
Abdul Hayy. al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudhu’i. Kairo: Dar ath-
thaba’ah
wa an-Nasyr al-Islami, 2005.
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab,
didownload 15 juni 2011.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.
Bandung: Lentera Hati, 2009. Volume IX.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.
Bandung: Lentera Hati, 2009. Volume IV.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbah: Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.
Bandung: Lentera Hati, 2009. Volume III
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Quran: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Bandung: Al-Mizan, 1999.
Ath-Thabathaba’i, Muhammad Husain. al-Mizan fi
Tafsir al-Qur’an. Bairut:
Muassasah al-A`lami li al-Mathbu`at, 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar